Beberapa etnomusikolog Universitas Sumatera Utara memprihatinkan ‘keberadaan‘ musik etnik yang semakin tersisih oleh perubahan zaman. Tidak ingin meratapinya, mereka justru bergerak dengan pekerjaan besar: mengupayakan pelestarian. Dimulai dari sebuah desa kecil, Hutatinggi, Laguboti, Kabupaten Tobasa. Irwansyah Harahap, salah seorang ‘pejuang‘ kesenian itu, melalui surat elektroniknya, membagi pengalaman dan pandangannya kepada Jurnal Nasional, seperti berikut:

“Sekolah Gondang” di Laguboti merupakan satu bentuk pilot project dari “Program Revitalisasi Musik Tradisi” yang sedang kami (Rithaony Hutajulu dan saya sendiri) kerjakan, disamping tiga lokasi budaya musik tradisi lainnya di Sumatera Utara; Karo, Simalungun dan Pakpak. Pilihan rasional lokasi di Laguboti sebagai center kegiatan karena “tradisi gondang” yang menjadi subyek program revitalisasi berpusat di desa Hutatinggi, Laguboti Tobasa. Konteks aktivitas kegiatan “sekolah”nya sendiri (untuk lecture individual) tersebar di beberapa lokasi, seperti Laguboti, Porsea, dan Panamean.

Proyek kegiatan ini diawali dari pengalaman penelitian kami (sebagai etnomusikolog), khususnya di wilayah Sumatera Utara selama lebih kurang sepuluh tahun ke belakang, memperlihatkan bahwa kehidupan musik tradisi (termasuk Batak Toba) nyaris ditinggalkan. Oleh karena itu kami mengganggap, sangat penting untuk mengantisipasi keadaan ini.

Program revitalisasi yang kami kerjakan untuk tahapan awal ini difokuskan pada kegiatan pentransmisian pengetahuan musik dengan tujuan mempersiapkan regenerasi pemusik ke depan.

SDM-nya, semua etnomusikolog, pemerhati budaya, dan tentu saja para maestro musisi tradisi yang ada. Untuk program Gondang Batak, meliputi tujuh orang guru yang masing-masing memiliki dua-tiga orang murid. Kami sengaja membatasi jumlah murid agar proses pembelajaran bisa dilakukan secara lebih intensif dan juga target secara kualitatif tercapai.

Masing-masing murid difasilitasi dengan alat-alat musik yang menjadi pilihan. Murid yang terlibat adalah mereka yang memang bersedia dan memiliki minat untuk menjadi pargonsi di masa mendatang, jadi tidak hanya sekadar belajar. Mereka diminta memiliki komitmen tersebut sebelum direkrut sebagai murid. Kegiatan ini dibantu oleh yayasan The Ford Foundation Jakarta, bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara.

Dalam masyarakat tradisional Batak Toba, musik (gondang) memiliki peranan yang penting dalam berbagai aktivitas kehidupan mereka, tidak hanya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sosialnya, tapi juga meliputi berbagai hal terkait dengan hal yang bersifat spiritual. Gondang utamanya dimainkan dalam kaitannya dengan berbagai ritual dan upacara keagamaan lokal-tradisional. Di samping itu gondang juga dapat dipertunjukkan di dalam konteks aktivitas seremonial adat.

Media Spiritual

Pentingnya peranan musik ini dapat dilihat dari salah satu filosofi dasar spiritual masyarakat Batak Toba tradisional yang menganggap bahwa gondang merupakan alat/media utama untuk mencapai dan membangun hubungan antara manusia dan Sang Pencipta (Mulajadi Na Bolon).

Sebagai konsekuensi, status sosial-spiritual yang demikian tinggi diberikan pada seorang pemusik pemusik gondang. Mereka juga tidak hanya dituntut kemampuan individunya dalam menguasai musik secara praktis, lebih dari itu ia mampu menguasai berbagai pengetahuan yang terkait dengan bentuk hubungan sosial/adat serta berbagai hal yang terkait dengan dunia spiritual dari masyarakatnya.

Dengan kata lain, oleh karena pemusik menjadi mediator utama dalam menjalin hubungan antardunia manusia (natural) dengan dunia para dewa (supernatural), maka ia harus mengerti dengan benar konteks dan tujuan dilakukannya sebuah ritual/upacara tertentu.

Dibandingkan dengan alat musik Batak Toba lainnya, ensembel gondang dipakai khusus untuk kegiatan upacara (walaupun dalam konteks sekarang fungsi ensembel gondang berkembang ke konteks hiburan). Selain ensembel gondang, di masyarakat Batak Toba terdapat juga alat-alat musik yang berfungsi sebagai hiburan pribadi seperti sulim, saga-saga dll.

Dibanding dengan etnis lain di Indonesia, keunikan ensembel gondang khususnya pada alat musik taganing (sejenis drum chime atau gendang bernada) yang dalam tradisi musik di dunia, jenis alat musik seperti ini–selain di tradisi Batak Toba (juga gonrang Pak-pak dan gonrang Simalungun)–hanya ada di Afrika dan Burma.

Proyek revitalisasi musik tradisi dalam format ini sudah berlangsung sejak awal tahun 2007 dan akan berlangsung hingga akhir tahun 2008. Dalam tahap ini kami sedang mencari metodologi yang tepat untuk dikembangkan menjadi semacam “kurikulum” sekolah gondang tradisional. Penting disadari bahwa, guru yang terlibat adalah seniman ahli yang mendapat ilmu secara oral tradisi.

Di samping itu, dalam tradisi Batak Toba, seperti juga hampir di seluruh tradisi musik di Indonesia, tidak ada sistem belajar yang khusus dijumpai di masyarakatnya di mana seorang murid belajar khusus keahlian musik tertentu. Seorang murid biasanya ikut kemana sang guru pergi, membantu pekerjaan gurunya sehari-hari, dan ikut sang guru ketika bermain musik di upacara. Dengan cara seperti itulah murid lambat laun belajar bermain musik.

Pola pengajaran yang kami lakukan adalah dengan mewajibkan setiap murid untuk belajar secara individu kepada guru sekali seminggu, kemudian satu sampai dua kali sebulan dilakukan latihan gabungan di mana seluruh murid dan guru berkumpul untuk melakukan latihan ensambel bersama-sama. Kami juga memberikan alat-alat musik kepada guru dan murid untuk memperlancar proses pelatihan.

Untuk memantau jalannya pelatihan kami meminta salah seorang tokoh budaya Batak Toba dari Hutatinggi untuk memantau proses pelatihan baik individu maupun kelompok. Kami sendiri, pihak organizing committee yang ada di Medan akan melakukan kunjungan untuk monitoring dan pendokumentasian selama satu kali sebulan. Kami juga meminta evaluator dari luar yaitu Prof. Dr Ramon Santos dari University of Philippine untuk melakukan evaluasi terhadap proyek yang kami lakukan. Beliau sudah melakukan satu kali kunjungan untuk mengamati perkembangan, metode dll dari program ini.

Sejak program ini dimulai, hasilnya sangat menggembirakan karena murid-murid yang terlibat telah mampu bermain dengan baik. Mereka sudah menguasai sekitar sepuluh gondang dengan teknik permainan yang sangat baik. Mereka juga sudah mulai terlibat di dalam upacara.

Kesulitan dalam pengajaran adalah dalam hal metodologi, pengajaran. Guru masih belum terbiasa mengajarkan dan menjelaskan bagaimana cara bermain musik, tekniknya, menyederhanakan permainannya agar mudah ditangkap murid. Mereka juga masih kesulitan untuk menyusun tahapan-tahapan atau jenjang pengajaran secara sistematis. Untuk itulah kami sebagai organizing committee yang semuanya adalah etnomusikolog juga bertindak memberikan saran dan masukan kepada para guru sambil mencari metodologi pengajaran apa yang tepat untuk diterapkan oleh masing-masing guru.
Sejauh ini, kami belum melibatkan banyak lembaga, namun kami berharap untuk target kerja ke depan mungkin hubungan itu perlu dilakukan.

Kami juga berharap, pengembangan sekolah nantinya dapat dikerjakan di kota-kota provinsi seperti Medan dan Jakarta. Akan tetapi pada saat ini, kami lebih ingin berkonsentrasi pada pilot project yang sedang berlangsung. (Arie MP Tamba)